Kamis, 16 Desember 2010

Gadis Kecil Yang Sholihah

Kisah yang ana sajikan dibawah ini, mengandung hikmah yang sangat agung bagi para ikhwan aktivis dakwah, sebuah motivasi yang mampu menggugah semangat dakwah dan amar ma'ruf nahi mungkar demi kemuliaan islam dan pemeluknya. kisah yang ana nukil dari www.qiblati.com ini, ana harap bisa dibaca lebih banyak lagi ikhwah muslim dan muslimah. mari kita dengarkan penuturan kisah tentang gadis kecil yang sholihah.

Berkatalah ibu gadis kecil bernama Afnan ini :
Saat aku mengandung putriku, Afnan, ayahku melihat sebuah mimpi di dalam tidurnya. Ia melihat banyak burung pipit yang terbang di angkasa. Di antara burung-burung tersebut terdapat seekor merpati putih yang sangat cantik, terbang jauh meninggi ke langit. Maka aku bertanya kepada ayah tentang tafsir dari mimpi tersebut. Maka ia mengabarkan kepadaku bahwa burung-burung pipit tersebut adalah anak-anakku, dan sesungguhnya aku akan melahirkan seorang gadis yang bertakwa. Ia tidak menyempurnakan tafsirnya, sementara akupun tidak meminta tafsir tentang takwil mimpi tersebut.

Selasa, 14 Desember 2010

MUKADIMAH DARI KAMI

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.....

    Alhamdulillah atas segala kenikmatan tak terhitung oleh akal manusia, tak terdeteksi oleh tekhnologi yang paling mutakhir dan tak dapat dibeli dengan dunia sekalipun, yang telah Allah karuniakan kepada hamba-hambaNya yang bersyukur.
    Sholawat beserta keselamatan pula semoga senantiasa Allah curahkan pada rosul Muhammad saw, uswah hasanah bagi seluruh umat, penutup para nabi dan rosul yang tak ada lagi nabi dan rosul setelah beliau, begitu pula pada para sahabat yang mulia, tabiin, tabiut tabiin dan para mu'minin yang komitmen dalam  ajaran dan sunah-sunah beliau saw.
    Allah ta'la berfirman dalam Q.S. Al Hujurat : 10   
“sesungguhnya orang-orang yang beriman (mu'minin) itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah agar kalian mendpat rahmat.”
    Rasulullah saw juga pernah bersabda yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik
“Tidaklah sempurna iman salah seorang diantara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaiman ia mencintai dirinya sendiri.” H.R. Bukhori dan Muslim

    sedikit cerita ni sobat, tapi gak cerita dongeng palagi cerita romantis, hehe....., cerita latar belakang mengapa sih blog ini diberi tema “SIMPUL UKHUWAH”. Kenapa gak diberi tema yang lebih keren dan gaul kayak blog-blog yang lagi pada naik daun akhir-akhir ini (kayak ulat ijo aja, sukanya naik daun...). Karena memang tujuan kami ikut-ikutan mejeng didunia bukan hanya sekedar pengen populer palagi cuma ikutan tren (narsis amat yach....?) tapi karena status kami sebagai seorang tholibul ilmi Assyar'iy, maka keiginan kami untuk berdakwah melalui media yang paling mudah menjangkau kalangan para remaja. Tema “simpul uhuwah”' sendiri muncul dari sebuah keprihatinan ketika melihat keadaan kaum muslimin hari ini, baik  muda ataupun yang tua kalangan ulama ataupun masyarakat awam yang sudah terlalu jauh diadu domba oleh musuh islam namun kita semua kurang menyadarinya. Masyarakat islam saat ini sudah terlalu bingung dalam menempatkan “wala' dan bara'nya (loyalitas dan permusuhan)”. Kepada orang yang memusuhi agamanya  malah membangga-banggakan, akan tetapi kepada saudaranya seiman yang menjalankan Syari'at justru mencela dan menuduhnya dengan tuduhan negativ. Kalau gak sekarang kapan lagi? Mari kita bergandeng tagan, satukan langkah dan kuatkan kembali simpul ukhuwah kita yang telah lama pudar. Karena dengan kesatuan dan persaudaraanlah kita mampu melawan musuh-musuh islam yang dholim. Maka benar apa yang menjadi selogan para pejuang nasional Indonesia dulu “Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”.
   
    Ikhwati Fillah.......
    Begitu diperhatikannya masalah ukhuwah (persaudaraan) dalam islam, sehingga kecintaan seorang muslim dengan uslim lainnya sebagaiman kecintaannya terhadap dirinya sendiri menjadi syarat kesempurnaan Iman. Sekilas kita memandang remeh urusan hubungan persaudaraan, akan tetapi kalaulah kita memandangnya lebih jauh da dalam niscaya akan kita dapatkan betapa besar faedah dari sebuah hubungan persaudaraan dalam islam.
    Umat Muslim bersaudara. Itu adalah ajaran dan satu-satunya ikatan yang mulia yang pernah ada. Ikatan yang mengalahkan bermacam-macam ikatan yang ada di antara manusia sebelumnya. Ikatan kesukuan, nasionalisme, organisasi, dan berbagai ikatan priomordialis adalah ikatan yang bertendensi pada keduniawian. Sedngkan ikatan ukhuwah islamiyah adalah ikatan yang paling langgeng selama salah seorang diantara ikhwah tersebut tidak keluar dari syari'at dan ketentuan Allah, karena memang tendensi persaudaraan mereka adalah demi mendapat keridhoan Allah dan kecintaan karena Allah.

    Ikhwati fillah …...
    Sebelum kedatangan Islam barangkali orang tidak pernah dapat membayangkan bagaimana caranya mempersatukan hati dan pikiran seluruh umat manusia. Bagaimana bisa seorang yang berkulit hitam dapat bersaudara dengan yang berkulit putih, kuning atau merah?. Bahasa mereka berbeda, asal suku bangsa mereka juga berbeda, entah bagaimana cara mempertautkan seluruh hati mereka. Sebuah hal yang terlalu rumit bagi manusia yang memang kemampuan berpikirnya serba terbatas.
    Pihak musuh-musuh islampun mencari celah dan kelemahan umat islam pada perbedaan dan pertikaian dengan cara mengadu domba antar ras, suku, golongan bahkan antar sesama suku dan golongan sendiri.  Romawi menaklukkan separuh dunia untuk kemudian menciptakan kelas-kelas sosial menurut keturunan dan suku bangsa. Demikian pula Persia. Jazirah Arab, tempat kelahiran Islam, pun pernah tenggelam dalam hiruk pikuk konflik antar kabilah. Pada abad modern Perang Dunia meletus sebanyak dua kali lagi-lagi demi alasan nasionalisme; Jepang dengan Nipponnya, Hitler dengan Nazinya, Mussolini dengan Fasismenya, dan sekutu dengan kebanggaan aliansi sekutunya.
    Padahal seluruh perbedaan-perbedaan itu ada yang bersifat alamiah sebagai kehendak Allah dan qodrat bagi masing-masing orang. Ketika kita lahir ke alam dunia tidak pernah sedikitpun terbersit dalam benak kita untuk lahir dalam keadaan misalkan; berkulit coklat, bermata sipit, berbahasa Melayu, dsb. Seluruhnya adalah alamiah karena itu menjadi  menjadi tidak adil jika kemudian dipermasalahkan. Bagaimana bisa seorang kulit putih merasa lebih mulia dari orang lain hanya karena warna kulitnya? Bukankah ‘kebetulan’ saja ia terlahir dengan kulit putih. Ah, itulah lemahnya manusia, hampir selalu ego-nya mengalahkan akal sehatnya.
Allah ta'ala berfirman :
    “Sesungguhya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah adalah yang paling bertaqwa.” Q.S. Al Hujurot : 13
“Tidak ada keutamaan antara orang Arab dibandingkan orang Ajam (non-Arab), dan antara orang Ajam dengan orang Arab. Juga tidak ada keutamaan antara orang berkulit putih dibandingkan dengan orang berkulit hitam, juga tidak ada keutamaan antara orang berkulit hitam dibandingkan dengan orang berkulit putih, kecuali dengan taqwa.”(al hadits)
    Dengan bahasa yang indah Allah swt memerintahkan kita untuk tidak merasa lebih ‘tinggi’ dibandingkan orang lain hanya karena perbedaan-perbedaan alamiah tersebut. Karena  Semata takwa yang membedakan seorang manusia dengan manusia yang lain dihadapan Allah. Dengan falsafah hidup kebersamaan dan kesetaraan itu, Islam telah memberikan solusi dari segala perbedaan.
    And then, apakah kita siap menerima konsekuensi dari sebuah ukhuwah Islamiyyah? Siapkah kita untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan seluruh saudara-saudara kita seiman? Siap jugakah kita untuk menerima segala macam perbedaan — baik fisik maupun pemikiran (dalam hal selain Aqidah) – dengan mereka yang berada di luar rumah kita, bahkan tanah air kita? Siap jugakah kita untuk tidak mendzalimi sesama muslim, tidak menyerahkannya pada musuh, dan untuk tidak membicarakan kejelekan mereka? Dan banyak lagi hak dan kewajiban sesama muslim yang harus kita kerjakan sebagai bukti cinta kita pada saudara seiman kita.
“Belum sempurna iman seseorang sampai dia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” H.R. Bukhori & Muslim.
    Sobat , terlalu sering kata ukhuwah terdengar di telinga kita, bahkan keluar dari bibir kita,? padahal mungkin kita sendiri belum memahami tanggung jawab dari sebuah ukhuwah.
Bagi mereka yang setiap hari bergelut dengan dakwah dan syiar Islam, juga tidak ada salahnya merenung; sudahkah ukhuwah itu menjadi bagian dari kehidupan kita ataukah hanya sekedar rangkaian kalimat indah dalam ceramah dan tulisan kita. Atau jangan-jangan ukhuwah itu hanya berputar pada kelompok kita saja (itupun menurut persepsi kita), tidak pada yang lain.
    Dulu kita sering mendengar sesama ustadz ( panggilannya sih gitu) saling mencaci, menghujat dan menghina hanya karena persoalan qunut, jumlah rakaat shalat tarawih, dan berbagai macam  perbedaan furu' lainnya. Perbedaan yang tidak pernah menyeret para ulama-ulama terdahulu masuk ke dalam keributan, apalagi permusuhan. Kini, ukhuwah juga sering terpecah dengan perbedaan kelompok pengajian, bendera partai, atau syeikh. Seorang kawan pernah bercerita dengan sedih bahwa ia dikucilkan oleh kawan-kawannya sesama aktivis pengajian hanya karena ia mengaji pada ustadz yang tidak sepaham dengan ustadz mereka. Seorang kawan lagi dengan kesal bercampur kecewa bercerita bahwa ia sering mendapat fitnah dari sesama aktivis muslim – yang menjadi kawan dekatnya – karena berbeda dalam mengambil madzhab yang berbeda dengan kawan-kawannya.
Ikhwatiy....
Sadarkah  kita bahwa menerima ukhuwah berarti juga harus menerima segala perbedaan? Bersatu bukan berarti harus seragam. Hanya dua hal yang harus sama akidah dan tujuan perjuangan kita; Islam dan ridlo Allah Swt. Selebihnya adalah perbedaan yang akan menambah indah kehidupan kita bersama. Bersaudara bukan berarti menolak perbedaan. Bukankah perbedaan itu sudah ada sejak generasi pertama agama ini. Lihatlah bagaimana para khulafaur rasyidin dengan lapang dada menerima perbedaan di antara mereka, tanpa ada rasa dendam, fitnah atau caci maki.
    Mari kita rajut kembali ukhuwah itu dengan semangat keikhlasan dan tentu saja dorongan iman. Marilah kita membuka mata lebar-lebar dan mendengarkan dengan seksama agar kita terhindar dari segala perpecahan. Saudara-saudara kita bukanlah semata yang ada dalam kelompok kita. Mereka yang berada di luar sana; baik yang belum sadar untuk kembali ke jalan Allah ataupun yang tengah meniti ridlo Allah pada jalur yang berlainan adalah saudara dalam keimanan dan perjuangan.
    Alangkah sempitnya hati kita, dan dangkalnya pikiran kita seandainya menganggap ukhuwah adalah sebuah keseragaman, dengan menafikan perbedaan. Ayo kita bersama rajut keindahan ukhuwah Islamiyyah yang sejati itu karena sekali lagi setiap muslim adalah bersaudara.
    Nas'alullah semoga blog kita ini bermanfaat. Wa Jazakumullahu kairol jaza'.....

wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.....

Rabu, 08 Desember 2010

UKHUWAH ITU BAGAIKAN TASBIH

PERI KEHIDUPAN

Logo Remaja

LOGO DOA

LOGO TARBIYAH

Tarbiyah Islamiyah

QUR'AN

LOGO

Bidadari Surga

Terheran-heran. Tapi itulah kenyataan. Seseorang  – yang mungkin dengan mudahnya – melepas jilbabnya dan merasa enjoy mempertontonkan kecantikannya. Entah dengan alasan apa, kepuasan pribadi, materi dunia, popularitas yang semuanya berujung pada satu hal, yaitu hawa nafsu yang tak terbelenggu.
Padahal… nun di surga sana, terdapat makhluk yang begitu cantik yang belum pernah seorang pun melihat ada makhluk secantik itu. Dan mereka sangat pemalu dan terjaga sehingga kecantikan mereka hanya dinikmati oleh suami-suami mereka di surga.Berikut ini adalah kumpulan ayat dan hadits yang menceritakan tentang para bidadari surga.

Saat Merindukan si dia

Tak bisa disangkal, manusia akan selalu bersentuhan dengan cinta. Sementara kecintaan memberikan buah kerinduan. Orang yang mencinta akan rindu kepada orang yang dicintainya.
Kerinduan kepada kekasih, seringkali membekaskan duka. Karena sudah tahu bahwa pacaran bukanlah jalan yang halal untuk ditempuh, maka nikahlah satu-satunya yang jadi pilihan. Padahal si pria belum mampu memberi nafkah lahir. Wanita pun masih muda dan dituntut oleh orang tua untuk menyelesaikan sekolah atau meraih gelar. Akhirnya, karena tidak kesampaian untuk nikah, maka pacaran terselubung sebagai jalan keluar karena tidak kuat menahan rasa rindu pada si dia. Lewat chatting, inbox FB atau sms jadi jalur alternatif.
Inilah yang dialami pemuda masa kini. Mungkin juga dialami para aktivis dakwah. Agar dikira tidak melalui pacaran, maka sms dan chatting yang jadi pilihan. Seharusnya rasa rindu ini bisa dipendam dengan melakukan beberapa kiat yang akan kami utarakan[1]. Semoga Allah senantiasa memberi taufik.
Terapi dari Rasa Rindu dengan Segera Nikah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki baa-ah[2], maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.”[3]
Yang dimaksud dengan syabab (pemuda) di sini adalah siapa saja yang belum mencapai usia 30 tahun. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah.[4]
Secara bahasa, baa-ah bermakna jima’ (berhubungan suami istri). Sedangkan mengenai makna baa’ah dalam hadits di atas terdapat ada dua pendapat di antara para ulama, namun intinya kembali pada satu makna.
Pertama: makna baa-ah adalah sebagaimana makna secara bahasa yaitu jima’. Sehingga makna hadits adalah barangsiapa yang mempunyai kemampuan untuk berjima’ karena mampu memberi nafkah nikah, maka menikahlah. Barangsiapa yang tidak mampu berjima’ karena ketidakmampuannya memberi nafkah, maka hendaklah ia memperbanyak puasa untuk menekan syahwatnya dan untuk menghilangkan angan-angan jeleknya.
Pendapat kedua: makna baa-ah adalah kemampuan memberi nafkah. Dimaknakan demikian karena konsekuensi dari seseorang mampu berjima’, maka tentu ia harus mampu memberi nafkah. Sehingga makna hadits adalah barangsiapa yang telah mampu memberi nafkah nikah, maka hendaklah ia menikah. Barangsiapa yang tidak mampu, maka berpuasalah untuk menekan syahwatnya.
Jadi maksud dari dua pendapat ini adalah sama yaitu harus punya kemampuan untuk memberi nafkah. Sehingga inilah yang menjadi syarat seseorang (khususnya pria) untuk membina rumah tangga dengan kekasih pilihan, yaitu ia memiliki kemampuan untuk memberi nafkah keluarga. Hal ini yang banyak disalahpahami sebagian pemuda. Mereka ngebet minta nikah pada ortunya. Padahal sesuap nasi saja masih ngemis pada ortunya. Hanya Allah yang memberi taufik.
Dari sini, barangsiapa yang memiliki kemampuan, maka segeralah untuk menikah guna memadamkan rasa rindu yang ada. Menikah di sini tidak mesti dengan orang yang selalu dirindukan. Boleh jadi, juga dengan orang lain. Karena nikah telah mencukupkan segala kebutuhan jiwa di samping dalam nikah akan ditemui banyak keberkahan. Jika memungkinkan menikah dengan orang yang dirindukan, maka menikahlah dengannya. Ini merupakan terapi manjur.
Berusaha untuk Ikhlas dalam Beribadah
Ikhlas adalah obat manjur penyakit rindu. Jika seseorang benar-benar ikhlas menghadapkan diri pada Allah, maka Allah akan menolongnya dari penyakit rindu dengan cara yang tak pernah terbetik di hati sebelumnya. Cinta pada Allah dan nikmat dalam beribadah akan mengalahkan cinta-cinta lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sungguh, jika hati telah merasakan manisnya ibadah kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya, niscaya ia tidak akan menjumpai hal-hal lain yang lebih manis, lebih indah, lebih nikmat dan lebih baik daripada Allah. Manusia tidak akan meninggalkan sesuatu yang dicintainya, melainkan setelah memperoleh kekasih lain yang lebih dicintainya. Atau karena adanya sesuatu yang ditakutinya. Cinta yang buruk akan bisa dihilangkan dengan cinta yang baik. Atau takut terhadap sesuatu yang membahayakannya.”
Hati yang tidak ikhlas akan selalu diombang-ambingkan nafsu, keinginan, tuntutan serta cinta yang memabukkan. Keadaannya tak beda dengan sepotong ranting yang meliuk ke sana kemari mengikuti arah angin.
Banyak Memohon pada Allah
Setiap do’a yang kita panjatkan pasti akan bermanfaat. Boleh jadi do’a tersebut segera dikabulkan oleh Allah. Boleh jadi sebagai simpanan di akhirat. Boleh jadi dengan do’a kita tadi, Allah akan menghilangkan kejelekan yang semisal.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ »
Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selam tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan do’anya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allahu akbar (Allah Maha besar).”[5]
Ketika seseorang berada dalam kesempitan dan dia bersungguh-sungguh dalam berdo’a, merasakan kebutuhannya pada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan do’anya. Termasuk di antaranya apabila seseorang memohon pada Allah agar dilepaskan dari penyakit rindu dan kasmaran yang terasa mengoyak-ngoyak hatinya. Penyakit yang menyebabkan dirinya gundah gulana, sedih dan sengsara. Oleh karena itu, perbanyaklah do’a.
Memenej Pandangan
Pandangan yang berulang-ulang adalah pemantik terbesar yang menyalakan api hingga terbakarlah api dengan kerinduan. Orang yang memandang dengan sepintas saja jarang yang mendapatkan rasa kasmaran. Namun pandangan yang berulang-ulanglah yang merupakan biang kehancuran. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk menundukkan pandangan agar hati ini tetap terjaga. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.”[6]
Mujahid mengatakan,
غَضُّ الْبَصَرِ عَنْ مَحَارِمِ اللَّهِ يُورِثُ حُبَّ اللَّهِ
“Menundukkan pandangan dari berbagai hal yang diharamkan oleh Allah, akan menimbulkan rasa cinta pada Allah.”
[7] Berarti menahan pandangan dari wanita yang bukan mahrom akan menimbulkan rasa cinta pada Allah. Menundukkan pandangan yang dimaksud di sini ada dua macam yaitu memandang aurat sesama jenis dan memandang wanita yang bukan mahram.
Tiga faedah dari menundukkan pandangan telah disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[8]
Pertama: Akan merasakan manis dan lezatnya iman. Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, Dia akan memberi ganti dengan yang lebih baik.
Kedua: Akan memberi cahaya pada hati dan akan memiliki firasat yang begitu cemerlang.
Ketiga: Akan lebih menguatkan hati.
Lebih Giat Menyibukkan Diri
Dalam situasi kosong kegiatan biasanya seseorang lebih mudah untuk berangan memikirkan orang yang ia cintai. Dalam keadaan sibuk luar biasa berbagai pikiran tersebut mudah untuk lenyap begitu saja. Oleh karena itu, untuk memangkas kerinduan seseorang hendaknya menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat baik untuk dunia atau akhirat. Hakikat dari rasa rindu adalah kesibukan hati yang kosong. Di kala sepi sendiri, tanpa aktivitas muncullah bayangan sang kekasih, wajah, gerak-gerik, dan segala yang berkaitan dengannya. Seluruhnya hanya sekedar bayangan dan khayalan yang berakhir dengan kesedihan diri. Tiada manfaatnya sedikit pun bagi kehidupan kita.
Ibnul Qayyim menyebutkan nasehat seorang sufi yang ditujukan pada Imam Asy Syafi’i. Ia berkata,
وَنَفْسُكَ إِنْ أَشْغَلَتْهَا بِالحَقِّ وَإِلاَّ اشْتَغَلَتْكَ بِالبَاطِلِ
Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil).”[9]
Menghindari Nyanyian dan Film Percintaan
Nyanyian dan film-film percintaan memiliki andil besar untuk mengobarkan kerinduan pada orang yang dicintai. Apalagi jika nyanyian tersebut dikemas dengan mengharu biru, mendayu-dayu tentu akan menggetarkan hati orang yang sedang ditimpa kerinduan. Akibatnya rasa rindu kepadanya semakin memuncak, berbagai angan-angan yang menyimpang pun terbetik dalam hati dan pikiran. Bila demikian, sudah layak jika nyanyian dan tontonan seperti ini dan secara umum ditinggalkan. Demi keselamatan dan kejernihan hati. Sehingga sempat diungkapkan oleh beberapa ulama nyanyian adalah mantera-mantera zina.
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.
Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.
Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.[10]
Imam Asy Syafi’i berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.[11]
Bayangkan Kekurangan Si Dia
Ingatlah selalu, orang yang engkau rindukan bukanlah pribadi yang sempurna. Ia sangat banyak kekurangan, sehingga tidak layak untuk dipuja, disanjung atau senantiasa dirindukan. Orang yang dirindukan sebenarnya tidak seperti yang dikhayalkan dalam lamuman.
Ibnul Jauzi berkata, “Sesungguhnya manusia itu penuh dengan najis dan kotoran. Sementara orang yang dimabuk cinta senantiasa melihat kekasihnya dalam keadaan sempurna. Disebabkan cinta ia tidak lagi melihat adanya aib.”
Kita bisa menghukumi sesuatu dengan timbangan keadilan sedangkan orang yang sedang kasmaran tengah dikuasai oleh hawa nafsunya sehingga tak dapat bersikap dengan adil. Kecintaannya menutupi seluruh aib yang dimiliki oleh pasangannya.
Para ahli hikmah berkata, “Mata yang diliputi oleh hawa nafsu akan menjadi buta.”
Semoga Allah memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.remajaislam.com
Sukoharjo, Solo, 3 Muharram 1431 H

[1] Kiat-kiat ini kami olah dari pembahasan Majalah Elfata, edisi 02, volume 05, tahun 2005.
[2] Baa-ah ada tiga penyebutan lainnya: [1] al baah (الْبَاءَة), [2] al baa’ (الْبَاء), dan [3] al baahah (الْبَاهَة). Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 5/70, Mawqi’ Al Islam.
[3] HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400.
[4] Lihat Syarh Muslim, 5/70.
[5] HR. Ahmad no. 11149, 3/18, dari Abu Sa’id. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (bagus). Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
[6] HR. Muslim no. 2159.
[7] Majmu’ Al Fatawa, 15/394, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H
[8] Majmu’ Al Fatawa, 15/420-426
[9] Al Jawabul Kafi, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
[10] Lihat Talbis Iblis, 289, Asy Syamilah
[11] Talbis Iblis, 283